Beritain.co | Kota Depok – Kolonel Ahmad Husein adalah seorang tokoh militer dari Sumatera Barat , yang pada tahun 1958 membentuk Dewan Banteng dan menjadi pemimpin militer PRRI.
Kolonel Ahmad Husein lahir di Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 1 April 1925 dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 28 November 1998 pada usia 73 tahun.
Kolonel Ahmad Husein adalah salah satu putra dari Abdoel Kahar dan Sa’adiyah.
Abdoel Kahar memiliki 11 anak, 7 laki-laki dan 4 perempuan.
Abdoel Kahar dan Sa’adiyah adalah pemilik apotik di Rumah Sakit Militer di kota Padang.
Pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang Letkol. Ahmad Husein membentuk PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dibawah pimpinan Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara, dengan tujuan mengoreksi pemerintahan otoriter Soekarno
Pemerintahan Presiden Soekarno dianggap inkonstitusional dan sudah mengabaikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Tindakan koreksinya itu ternyata mendapat sambutan berupa aksi militer dari pemerintah pusat di Jakarta dan di daerah.
Jenjang pendidikan dari Ahmad Husein dimulai dari HIS di Padang dan tamat pada tahun 1938. Setelah itu belajar di Taman Dewasa atau setingkat MULO di Bukittinggi dan tamat pada tahun 1941.
Pada tahun 1943, setelah masuknya Jepang ke Indonesia, Ahmad Husein mendaftar masuk Gyugun. Di Gyugun ini Ahmad Husein terkenal sebagai “jago tembak”.
Menjelang kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, Ahmad Husein menjadi anggota BKR atau Badan Keamanan Rakyat di Padang.
Ahmad Husein juga aktif untuk merekrut para pemuda menjadi anggota BKR. Ahmad Husein menjadi komandan tempur Padang Area, yang kemudian dikenal sebagai pasukan Harimau Kuranji.
Setelah masa kemerdekaan dalam militer di seluruh Indonesia diadakan reorganisasi dalam dinas ketentaraan. Di Padang dibentuk Divisi Banteng.
Ahmad Husein aktif dalam divisi ini dan dalam tahun-tahun yang sulit, menyusul munculnya agresi Belanda pertama dan kedua, Ahmad Husein dan kawan-kawannya aktif berjuang mempertahankan kedaulatan negara.
Kolonel Ahmad Husein merasa kecewa pada pemerintahan dari Presiden Soekarno yang
dinilai terlalu berfokus pada pembangunan Jawa dan mengabaikan daerah-daerah.
Kolonel Ahmad Husein sempat bertemu dengan Presiden Soekarno di Bukitinggi pada tanggal 2 Juni 1948.
Ketua Dewan Banteng
Dewan Banteng yang dibentuk di Padang pada tanggal 20 Desember 1956 adalah cikal bakal dari PRRI, walaupun pada awalnya bertujuan membangun daerah yang dirasa tertinggal dibanding pembangunan di pulau Jawa.
Dewan Banteng ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah dan Letnan Kolonel Ahmad Husein dipilih menjadi ketuanya.
Dewan Banteng terbentuk setelah melalui dua kali pertemuan para perwira aktif maupun pensiunan yang berasal dari Divisi IX Banteng, suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang dibentuk pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 – 1950 melawan kolonialis Belanda.
Sebelumnya divisi yang telah dibubarkan pemerintah itu membawahi teritorial Sumatra Tengah (Sumbar, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi sekarang). Salah satu resimen Komando Divisi IX Banteng yaitu Resimen 6 dianggap sebagai pasukan terbaik di Sumatra.
Pertemuan pertama yang berlangsung di Jakarta pada 21 September 1956 dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang dari tanggal 20 sampai 24 November 1956 yang dihadiri 612 orang perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari divisi yang telah bubar itu. Pada tanggal 20 Desember 1956 terbentuklah Dewan Banteng yang dilandasi oleh keinginan untuk membangun daerah yang dirasa tertinggal.
Selain kesejahteraan rakyat yang diabaikan dan kondisi prajurit yang memprihatinkan, faktor lain yang juga menjadi pendorong terbentuknya dewan itu adalah ketidak puasan para perwira dan prajurit yang berasal dari Divisi IX Banteng yang dibubarkan pemerintahan pusat. Penciutan Komando Divisi IX Banteng menjadi Brigade Banteng lalu berlanjut menjadi Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang berkedudukan di Medan. Ahmad Husein-pun hanya menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.
Keberadaan Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan anggota Divisi Banteng, tetapi juga oleh semua elemen masyarakat di Sumatra Tengah seperti partai politik, kaum ulama, intelektual, pemuda dan kaum adat, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi: “Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng”. Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia di bawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Tuntutan Dewan Banteng
Pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar, layak dan adil.
Dihapuskannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam arti teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan komando utama dalam Angkatan Darat.
Ditetapkannya eks. Divisi IX Banteng Sumatra Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.
Setelah itu Letnan Kolonel Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih jabatan Gubernur Sumatra Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo.
Tindakan dari Letkol Ahmad Husein itu tidak mendapatkan hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatra Tengah yaitu Komando Militer Daerah Sumatra Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Pada tanggal 22 Desember 1956, tepat 2 hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maludin Simbolon, sebagai Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan ikut mengumumkan pembentukan Dewan Gajah
di Medan dan menyatakan melepaskan diri dari pemerintahan pusat dibawah PM Djuanda.
Kolonel Maludin Simbolon menyatakan wilayah teritorialnya dalam keadaan Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat di Jakarta dengan memerintahkan KSAD Jenderal Abdul Haris Nasution untuk memecat Kolonel Maludin Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.
Langkah dari Kolonel Maludin Simbolon ini kemudian diikuti dengan pembentukan Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.
Panglima PRRI
Beberapa tuntutan dari Dewan Banteng tentang otonomi, sistem pemerintahan desentralisasi, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang adil, penyerahan mandat Perdana Menteri Djuanda kepada Mohammad Hatta dan Hamengku Buwono IX, pembentukan zaken kabinet dan tuntutan agar Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional serta beberapa tuntutan lainnya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Daerah Sumatra Tengah ke Pemerintah Pusat, tetapi dipakai untuk pembangunan daerah. Bahkan Dewan Banteng juga melakukan barter hasil-hasil alam Sumatra Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu digunakan untuk pembangunan daerah.
Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berbeda dengan keadaan sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatra Tengah di bawah Dewan Banteng dianggap sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu. Apa yang dilakukan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatra Tengah dengan pemerintah pusat menjadi tegang.
Setelah rapat di Sungai Dareh, Sumatra Tengah pada tanggal 9 Januari 1958, akhirnya Ahmad Husein membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958 dengan mengangkat Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri berikut kabinetnya. Sementara itu di Sulawesi Utara, Mayor Daniel Julius Somba mengikutinya dengan membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta).
Pemerintahan pusat di Jakarta menudingnya berbuat makar kepada NKRI.
Presiden Soekarno mengirim tentara pusat ke Sumatra Barat. Gerakan PRRI berhasil dipadamkan tahun 1961. Letkol Ahmad Husein dan tokoh PRRI lainnya menyatakan kembali pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Banyak kajian menunjukkan bahwa Amerika Serikat ikut berperan dalam gerakan itu, karena Soekarno makin condong ke Blok Timur. PRRI juga menyebabkan tragedi dalam masyarakat Minangkabau.
Perang saudara sudah memporak-porandakan tatanan sosial masyarakat Minangkabau.
Setelah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Ahmad Husein diberi pengampunan oleh Presiden Soekarno. Kemudian ia pindah ke Jakarta dan hidup di kota Jakarta.
Kolonel Ahmad Husein meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 28 November 1998. Jenazahnya dibawa ke Padang dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kuranji. (HR)