Media Beritain | Kota Depok – Meski berstatus sebagai terdakwa/tersangka, secara umum pelaku kejahatan memiliki hak-hak yang dijamin oleh undang-undang.
Seseorang yang menjadi pelaku kejahatan dan tertangkap oleh penegak hukum biasanya disebut dengan tersangka, terdakwa, dan terpidana. Penggunaan ketiga kata ini bergantung pada status proses hukum yang dijalani oleh pelaku kejahatan.
Dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, hal. 109, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, yakni minimal 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Sementara terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP), dan terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 angka 32 KUHAP).
Meski berstatus sebagai terdakwa/tersangka, secara umum pelaku kejahatan memiliki hak-hak yang dijamin oleh undang-undang, yakni; mendapat penjelasan mengenai hal yang disangkakan kepadanya. Untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (Pasal 51 huruf a KUHAP). Hal ini agar tersangka dapat mempertimbangkan tingkat atau pembelaan yang dibutuhkan, misalnya perlu/tidaknya mengusahakan bantuan hukum untuk pembelaan tersebut (Penjelasan Pasal 51 huruf a KUHAP).
Tersangka/terdakwa juga memiliki hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP); mendapat juru bahasa (Pasal 53 KUHAP); mendapat bantuan hukum dari seorang/lebih penasihat hukum (Pasal 54 KUHAP), dan memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55 KUHAP).
Kemudian tersangka/terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 68 KUHAP, yaitu ganti kerugian apabila ditangkap, atau ditahan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, dan rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 95 ayat (7) KUHAP); tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP).
Selain hak-hak yang umum tersebut, hak-hak tersangka/terdakwa juga bergantung pada proses dalam hukum acara pidana seperti dalam proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan tingkat pengadilan.
Pertama, dalam proses penangkapan, tersangka tidak ditangkap secara sewenang-wenang. Perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP beserta penjelasannya).
Kemudian saat ditangkap oleh pihak yang berwenang melakukan penangkapan. Secara hukum, yang berwenang melakukan penangkapan hanyalah petugas kepolisian, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat ia diperiksa (Pasal 18 ayat (1) KUHAP).
Lalu orang yang ditangkap berhak meminta petugas memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan, kecuali jika tertangkap tangan, maka penangkapan dilakukan tanpa surat perintah (Pasal 18 ayat (1) dan (2) KUHAP), berhak meneliti isi surat perintahnya, seperti kebenaran identitas yang tercantum, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat diperiksa.
Keluarga orang yang ditangkap berhak menerima tembusan surat perintah penangkapan segera dan tidak lebih dari 7 hari setelah penangkapan dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013 Hal. 34, dan segera diperiksa oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat (1) KUHAP), serta Meminta dilepaskan setelah lewat batas maksimum penangkapan, yaitu satu hari (Pasal 50 ayat (1) KUHAP).
Kedua, dalam proses penahanan. Tersangka/terdakwa berhak menerima surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka/terdakwa, alasan penahanan, uraian singkat perkara yang dipersangkakan/didakwakan, serta tempat ia ditahan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), dan diberitahukan tentang penahanan atas dirinya kepada keluarga atau orang yang serumah dengan tersangka/terdakwa, atau orang lain yang dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya (Pasal 59 ayat KUHAP). Dalam hal ini, keluarga orang yang ditahan berhak menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim (Pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP).
Kemudian dalam proses penahanan tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari keluarga atau pihak lainnya guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan atau usaha mendapatkan bantuan hukum (Pasal 60 KUHAP), menghubungi penasihat hukum (Pasal 57 ayat (1) KUHAP), dan menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga dalam hal yang tidak berhubungan dengan perkara, untuk kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan, baik secara lagsung maupun melalui perantara penasihat hukumnya (Pasal 61 KUHAP).
Lalu tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan (Pasal 63 KUHAP), menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak (Pasal 58 KUHAP), mengirim dan menerima surat dari penasihat hukum dan sanak keluarga (Pasal 62 ayat (1) KUHAP), meminta penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang/atau orang, berdasarkan syarat yang ditentukan, seperti wajib lapor, tidak keluar rumah/kota (Pasal 31 ayat (1) KUHAP dan penjelasannya serta meminta ganti kerugian atas tenggang waktu penahanan atau perpanjangan penahanan yang tidak sah (Pasal 30 KUHAP).
Ketiga, dalam proses penggeledahan. Penggeledahan dilakukan sesuai hukum, di antaranya:
dilakukan berdasarkan izin surat izin ketua pengadilan negeri (Pasal 33 ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya), kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak (Pasal 34 ayat (1) KUHAP).
Dalam memasuki rumah, penyidik harus disaksikan 2 orang saksi, jika tersangka/terdakwa menyetujuinya. Jika tersangka/penguni menolak/tidak hadir, harus disaksikan kepala desa/ketua lingkungan dengan 2 saksi (Pasal 33 ayat (3) dan (4) KUHAP). Selain itu, pemilik/penghuni rumah memperoleh turunan berita acara penggeledahan dalam waktu 2 hari setelah penyidik memasuki atau menggeledah rumah (Pasal 33 ayat (5) KUHAP).
Keempat, pada tingkat pengadilan, terdakwa/tersangka berhak meminta segera diajukan dan diadili perkaranya oleh Pengadilan (Pasal 50 ayat 2). Untuk mempersiapkan pembelaan, terdakwa berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya (Pasal 64 KUHAP). Untuk itu, pengadilan menyediakan juru bahasa bagi terdakwa bekebangsaan asing atau yang tidak bisa menguasai bahasa Indonesia (Penjelasan Pasal 51 huruf b KUHAP).
Kemudian tersangka/tersakwa berhak diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP), berhak emberikan keterangan secara bebas kepada hakim (Pasal 52 KUHAP), mendapat bantuan hukum dari seorang/lebih penasihat hukum (Pasal 54 KUHAP) dan memilh sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55 KUHAP).
Terdakwa/tersangka juga berhak mengajukan banding terhadap putusan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum, dan putusan pengadilan dalam acara cepat (Pasal 67 KUHAP), dan mengajukan kasasi (Pasal 244 KUHAP).
Sementara itu terkait hak-hak terpidana, pada saat menjalini hukuman, seorang terpidana memperoleh hak-hak yang serupa seperti tersangka/terdakwa yang sedang dalam penahanan, sebagaimana telah diterangkan di atas.
Selain itu, terpidana juga berhak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung (Pasal 263 ayat (1) KUHAP) dan menuntut ganti kerugian karena diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (Pasal 95 ayat (1) KUHAP).